Pesawat mendarat tepat waktu, menjelang siang di Taoyuan International Airport. Dokumen keimigrasian sudah disiapkan saat kaki menginjakkan gedung terminal. Sebenernya aku sempet baca di web bahwa WNI yang baru pertama kali ke Taiwan tidak perlu mengisi form permit. Tapi karena ada bannernya, dan banyak orang pada scan QR, aku ikutan juga ngisi sambil antri passport check. Eh, ternyata formnya ga diminta sama petugasnya, emang bener apa yang disampaikan di website.
Setelah aman lewat imigrasi, visa gratisan TAC ga ada masalah, tibalah di area scan tas yang bikin aku deg-degan. Aku bawa sosis dan bakso instan itu loh gaes, mikirnya untuk cadangan kalo aku kelaperan susah makan nanti. Aturan di Taiwan, tidak diperbolehkan membawa makanan olahan dari daging. Udah siapin mental dan drama pura-pura bego ga tau kalo ada aturan itu kalo nantinya tasku digeledah dan dimarahin petugas. Tapi untungnya, aku AMAN, lancar!
Setelah ngambil bagasi, aku lanjut ke counter di luar, di bagian ujung, untuk ambil simcard dan Easy card, dua kartu yang nantinya aku sangat bergantung padanya selama 2 minggu di Taiwan. Aku pesen 2 kartu ini pakai Klook. Enak ih sekarang kalo mau ke luar negeri, ga perlu susah payah kebingungan pesen yang beginian karena takut terkendala bahasa dan uang tunai. Enaknya pesen di klook ini, kita bisa bayar bahkan pake e-wallet, ga perlu kartu kredit/debit visa/master card. Aku pesen simcard 4G yang unlimited data + pulsa nelpon 100ntd untuk 15 hari, dan 1 easy card dengan isi 400ntd, seharga Rp 561.151,-. Emang tergolong mahal untuk aku yang pelit. Tapi menurutku itu udah best deal dari pencarianku scrolling sana-sini. Setibanya di counter yang tertera di petunjuk aplikasi, kita tinggal tunjukin aja bukti pemesanan kita. Trus bisa juga minta bantuan mbanya buat nyalain simcard di hp kita. Btw, lumayan rame loh foreigner yang antri di counter klook ini saat itu.
Selesai urusan kartu sakti, aku yang full-prepared yet well-planned sudah tau bahwa harus menuju lantai bagian bawah bandara untuk ke terminal bus antar kota. Memang ada juga pilihan naik kereta, tapi setelah kupelajari, kayanya agak ribet kalo mau transit pindah moda transportasi. Perbedaan waktu tempuh dan biaya juga tidak begitu signifikan. Maka aku memutuskan untuk naik bus saja, seperti instruksi yang tertera di flyer guidance yang dibagikan panitia. Tidak sulit memesan tiket bus ke Taichung, karena ada tulisan abjad-english nama-nama kota di atas loket. Pun kalo salah loket, bakalan dikasih tau petugas loket mana yang benar. Tapi, saat pemesanan, kita harus menyebutkan di mana titik pemberhentian kita nantinya. Peta rute dan nama pemberhentian dengan abjad-english tertera juga kok di loketnya. Berdasarkan petunjuk google map, aku sebaiknya berhenti di Science Museum karena halte bus stop untuk transit ga terlalu jauh. Saat itu, aku dapat bus seharga 325ntd. Setelah dapet tiket, aku ga perlu nunggu lama, busnya sudah datang. Petunjuk dan informasi platform di sini juga jelas. Tempat duduk di busnya enak, lapang. Siang itu, penumpangnya ga banyak, cenderung kosong malah.
Waktu tempuh dari Taoyuan International Airport menuju Taichung adalah sekitar 2 jam. Aku perhatikan di luar, jenis pohon ga terlalu beda jauh dengan yang ada di jalanan di Indonesia, hijau dan rimbun. Tapi untuk tampilan bangunannya, aku merasa ada kesan seperti gaya gedung di Jepang yang kotak gitu.
Setelah sempat tertidur sebentar, aku melihat suasana jalan yang sudah mulai berubah, ramai oleh padatnya bangunan middle-rise. ‘Sudah masuk kota Taichung nih’ pikirku. Aku pun bersiap untuk memencet bel saat kulihat gps hp sudah mendekati pemberhentian ‘Science Museum’.
Secara umum, suasana visual kota Taichung tidak terlalu berbeda jauh dengan kota-kota besar pada umumnya, atau bahkan dengan suasana kota-kota di Indonesia. Tapi 3 hal lain yang menjadi kesan ku saat tiba di Taichung ini adalah : 1) halte busnya gede, dan desainnya menarik; 2) banyak yak sepeda kuning parkir pinggir jalan. Yang akhirnya aku tahu bahwa ini adalah rent-bike; 3) orang lokal pada pake payung untuk berlindung dari panas matahari yang menyengat.
Aku lanjut nunggu untuk naik bus ke Wuqi, setelah menyeberang zebra cross, karena halte busnya berada di sisi jalan yang berlawanan arah. Di dalam bus, penumpangnya lumayan ramai. Kayanya ga ada tempat duduk kosong, jadi aku berdiri di bagian depan bus sambil megangin koper. Sempet kagok juga sih karena baru pertama kali naik bus umum di Taiwan, mana lagi tampilanku dengan hijab ini kelihatan beda banget kan yak dengan warga lokal, ketauan banget foreignernya. Aku juga ngerasa perlu belajar perhatiin orang gimana cara turun busnya, lewat pintu mana, pencet bel gimana, perlu tap kartu ga (untuk yg ini, untungnya aku masih inget aksara before-after yang diajarin laoshi, jadi bisa tebak bahwa perlu tap kartu sebelum naik dan sesudah turun dari bus).
Tapi gaes, aku ada misi lain siang itu, mampir beli makan ayam goreng halal dulu sebelum lanjut ke meeting point tempat volunteer. (Cerita gimana experience ku dengan makanan halal di Taiwan nanti aku buatkan di postingan terpisah). Jarak toko sekitar 400m dari bus stop. Setelah dapet paket ayam goreng pake nasi, aku balik lagi ke pemberhentian tempat aku turun tadi. Eh, pas cek google maps, oh ternyata mesti nunggu lama. Kalo mau yang agak cepet, bus stopnya harus jalan balik ke arah toko ayam goreng tadi. Aku ga mau jalan lagi karena udah cape, males juga geret koper, dan cuaca panaasss. Jadi ditahan-tahanin aja nunggu dibawah bayangan pohon kecil. Hampir setengah jam nunggu, busnya datang~
Tidak perlu waktu tempuh yang lama untuk tiba di Wuqi. Bus pun sudah cenderung kosong oleh penumpang. Aku berhenti di jalan yang lebaarrr tapi tidak ramai kendaraan, dan bangunan yang low-rise. Pokoknya terasa banget kesan ‘bukan kota’, karena ini emang sudah masuk daerah pinggiran. Tapi ya ga juga seperti suasana ‘desa’ yang ada di Indonesia, yang banyak pemandangan hijau dan sungai gitu.
0 Comments